Lucu bagaimana dunia membawa aku berkeliling denganmu bertahun-tahun. Berputar-putar pada satu poros tapi kita selalu berseberangan. Aku melihatmu, kamu pun sama, tapi kita diam saja. Beraniku hanya sebatas memastikan kau baik dari foto-foto yang kaupajang beberapa. Lucu, karena setelah semua itu, dunia membawa satu kesempatan lagi. Membawa kita pada masa yang serupa seperti yang pernah kita jalani. Seperti kembali pada satu musim setelah setahun...
“Aku rasa kita udah terpapar cukup banyak soal kehidupan pernikahan. Paling nggak, kita bisa lihat dan rasakan dari yang paling dekat gambarannya, ya. Pernikahan orang tua kita masing-masing.”“Tapi pernikahan orang tuaku gagal.”“Dan kamu tentu nggak mau pernikahanmu nanti gagal juga, kan? Aku tau kamu pasti langsung pasang tanda batas. Biar kamu punya standar calon suami dan pernikahanmu sendiri.”“Memang. Aku memang punya standar untuk...
Dialogue #4: "I wish you'll never read it. But, if you do, please don't tell your girlfriend."
September 20, 2023
"Tapi lo tau itu salah?"
"Tau. Tapi sulit banget move on-nya. Lo bayangin, gue udah nyoba nerima kakak tingkat bahkan sampe jadian sebulanan, gue ketemu beberapa orang di dating app, gue di Bangka Belitung lama banget kabur sampe duit gue habis, pulang-pulang ya balik lagi mikirin dia. Kenapa, ya? Padahal gue tau dia tuh nggak bisa digapai. Dia tuh bahagia banget, Bi, sama pacarnya. Ya ... keliatannya sih gitu. Nggak tau aslinya. Tapi kayak nggak mungkin banget, kan, gue nongol di depannya, meskipun perasaan gue nggak ada surut-surutnya."
"He'eh. Trus?"
"Takut banget gue, Bi."
"Takut apa?"
"Takut kalau gue terus-terusan terlena dengan semua yang gue rasain. Takut gue jadi nekat dan ngelakuin hal-hal yang nggak terhormat. Tapi gue juga nggak mau kalau harus ngelawan diri gue sendiri. Gue mau dia banget banget, Biii. Gue kayaknya nunggu keajaiban aja. Kan kita nggak pernah tau apa yang terjadi nanti, ya, kan? Bisa aja suatu saat, pas perasaan gue masih ada, dia putus sama pacarnya? Who knows?"
"Tadi lo bilang dia lagi bahagia-bahagianya sama pacarnya?"
"Itu dia. Trus gue harus apa? Lanjutin ini kayak cewek nggak tau aturan? Apa gue mundur? Nggak bisa, dong. Lagi kesengsem banget gue liat dia."
"Ya tapi dia pacar orang, Nin. Lo berharap apa? Mau lo kirim surat cinta sepintu juga nggak akan bisa lo dapetin. Yang ada lo nangis karena udah ngerasa berusaha banyak tapi hasilnya nihil."
"Lo pernah sayang yang sayang banget, nggak, sih, Bi?"
"Pernah, lah."
"Menurut lo, lo bisa, gak, ngorbanin perasaan lo dan mundur, ketika yang bikin lo waras tiap hari adalah dengan terus sayang dengan orang itu? Cuma karena orang itu ada, lo jadi ngerasa aman. Padahal lo nggak dipeluk, lo nggak didengerin ceritanya. Gimana? Bisa, gak, lo tiba-tiba anggep kalau perasaan, waktu, energi, perhatian, dan semua yang udah lo kasih itu nggak ada gunanya? Nggak ada ujungnya?"
"Lo udah sedalem itu, Nin?"
"Ini di luar rencana gueee, Biii. Gue kira gue bisa bersikap profesional. Trus, tapi, ya udah. Nggak tau apa yang gue kejar, gue tiba-tiba udah nyasar aja sampe sini. Dan lo tau? Gue jadi benci banget sama pacarnya."
"Ha ha ha. Seolah-olah pacar lo direbut."
"Gue nggak tau kapan ini berakhir, karena gue nggak tau gimana caranya mengakhiri ini. Gue harus apaaa, Biii? Bantu gue, dong. Lo diem-diem aja dari tadi."
"Gue rasa gue punya solusi."
"Gimana?"
"Lo cari di dirinya yang bikin lo ilfeel."
"Mana bisa ilfeel pas lagi naksir-naksirnya, sih?"
"Oh, lo kabur lagi aja. Ke Bali. Lebih lama dari kabur kemarin. Trus lo cari cowok. Cari yang perawakannya mirip."
"Ih tapi yang tinggi, ganteng, dan wanginya kayak dia ya cuma dia. Lo pake parfum dia pun gue naksirnya tetep sama dia."
"Sadar, Nin. Udah punya pacar orangnya. Masa lo harus nunggu disakitin dulu baru bangun dari angan-angan lo ini? Ya, kan? Lo tau kan ini cuma angan-angan?"
"Gue mau nunggu aja dulu, Bi. Besok apa kata besok. Mau dia putus, mau dia sampe nikah, atau sampe dia denger kabar ini, gue mau diem aja pasrah. Gue cuma nggak bisa nyerah sekarang."
"Tetep gue doain lo bangun dari tidur lo ini. Di sana-sana masih banyak cowo, Nin. Yang deketin lo juga bukan nggak ada. Ada. Mata lo ketutup aja alias lo tidur."
"Bi."
"Hm."
"Gimana ya rasanya jadi pacarnya? Gue ngebayangin dia ngasih hal-hal random ke pacarnya dengan surprise-surprise kecil, trus pacarnya seneng, trus mereka jadi makin sayang satu sama lain. Gimana ya, Bi, rasanya, pagi-pagi disayangin, malem-malem disayangin. Gue kapan, ya, ngerasain itu?"
"Lo abis putus minggu lalu, Nina."
"Ya maksud gue sebagai pacar dia. Gue pengin tau sesyahdu apa dipanggil sayang sama orang yang gue idam-idamin dari lama."
"Nggak jauh-jauh dari apa yang lo ngerti, lah, pasti."
"Nggak mungkin kejadian, ya, maksud lo?"
"Realistis, lah, Nin. Lo buang-buang banyak hal. Nggak usah merjuangin dia. Dia udah ada yang perjuangin. Lo usaha aja biar bisa mundur tanpa ketauan kalau lo udah naksir segila ini."
"Ya, nggak sekarang, lah. Tapi, Bi, dia tu kayanya tau gue ngejar-ngejar dia."
"Tau dari? Lo bilang?"
"Nggak, sih. Tapi gue sering bales stories-nya dan dia ngerespons, gue suka nge-like foto-fotonya yang sendiri dan nggak sama pacarnya."
"Hah, ngapain? Bukannya diem-diem malah terang-terangan. Nggak ngerti gue."
"Gue juga nggak tau gue gimana. Pengin nangis mulu tiap malem karena pas udah ngerasain sayang yang sayang banget, malah sayang sama pacar orang."