Kalau suatu saat kamu tidak sengaja melihatku di sebuah arah walau dengan sekelebatan mata, kalau kita tiba-tiba berpapasan secara tidak sengaja, kalau kamu telah kabur cukup jauh dan masih saja bertemu satu-dua hal yang membuatmu ingat sesuatu tentangku, telan saja hari itu walaupun asam. Maafkan saja hari itu walaupun kamu ingin sekali menampar seseorang.

Kalau kamu, kebetulan, masih tidak bisa mencari pengganti karena teman-temanmu selalu berpikir kamu sedang salah pilih, kalau di atas meja tempat minuman-minuman tersaji itu masih juga menyajikan kabarku yang tidak pernah lagi kamu cari, kalau kamu merasa telingamu hampir rusak karena harus mendengar pertanyaan dan cerita itu-itu lagi, kamu mungkin perlu ke luar dari meja itu dan tarik napas panjang.

Keluarkan. Caci-maki saja keadaan. Aku tahu tidak semua hal menjijikkan bisa selalu kamu telan. 

Tapi barangkali...

Barangkali saja.

Barangkali dunia memang tidak bisa membelai perjuanganku untuk mengembalikan kita ke halaman pertama seperti semua baru bermula. Barangkali kita memang harus berakhir di tempat sampah tempat kita biasa meludah.

Tapi bagaimana jika ternyata bukan aku yang harus berjuang? Lihat saja bagaimana dunia membuat pembahasan ini tidak cepat tamat, seperti sedang membuatku sulit kamu lupakan. 

Seandainya waktu tidak berjalan dengan bawa berita, maka masa lalu hanya kumpulan 24 jam dalam sehari yang cuma berlalu. Seandainya hal-hal yang terjadi di waktu-waktu kemarin itu tidak masuk tertata di kepala, aku tidak perlu kelimpungan cari cara untuk memutus kebiasaan-kebiasaan dengan kamu dulu.

Akhirnya di mana-mana jadi nama kamu lagi yang ada. Meletakkan jaket di punggung kursi, melipat plastik dengan rapi, mengelap sendok dengan tisu sebelum makan, mengaduk es teh pelan-pelan, semua hal-hal kecil itu, kini jadi kebiasaanku juga. Bahkan kadang saat aku cuma ingin sendirian memutari kota, ada kebiasaan yang menyetiri aku mengarah ke rumahmu. Betapa kegagalan ini sangat tidak lucu dan merepotkan.

Menurutmu kenapa itu semua terbawa ke masa kita sudah selesai dan jadi sendiri-sendiri? Kenapa kita sudah putus tapi aku tetap diekori? Harusnya, kan, ikut berantakan dan tidak ada, seperti kita dan hubungan kita.

Jadi kita tidak akan bawa dendam, tidak ada penyesalan, tidak ada rasa bersalah, tidak ada yang tertinggal dan terasa harus dirampungkan. Harusnya, perpisahan kita memisahkan semuanya. Harusnya apa-apa tentang kamu tidak lagi terbawa ke mana-mana. Tidak melekat di ingatan tahun-tahun selanjutnya.

Harusnya.

Tapi aku tahu tidak semua permintaan masuk di akal dan punya jawaban.